”Senang dipuji karena kegagalan orang lain, atau ikut tersenyum melihat keberhasilan orang lain karena tahu kamu punya andil di dalamnya
(meski tak selalu diketahui orang lain)"
Sebelum saya memulai menguraikan catatan ini, saya hendak bertanya. “Apa yang hendak kau lakukan, ketika posisi yang anda tempati sekarang ini akan digantikan oleh orang lain? Apakah akan menyiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin agar yang menggantikanmu lebih mudah melanjutkan pekerjaan atau justru membuat keadaan lebih sulit supaya calon penggantimu kesulitan memperbaiki keadaan dan akhirnya gagal?”
Memang pertanyaan ini agak aneh dan susah untuk kita jawab… saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh dosen saya sewaktu saya masih aktif kuliah beberapa tahun lalu. Menurutnya tidak ada salahnya kita harus meninggalkan sesuatu yang baik, sebelum ada yang menggantikan posisi kita. Memang sih, jika orang yang menggantikan kita itu berhasil, dia yang akan mendapatkan reward bahwa dia berhasil. Tapi jika orang tersebut gagal hanya karena kita meninggalkan hal yang buruk pada orang yang menggantikan kita, yang diingat orang itu bukan kegagalanya, tapi siapa yang melakukannya terlebih dahulu. Kurang lebih begitu yang disampaikan oleh dosennya saya tersebut.
Hhhmmm…. We got to the point….
Sadar atau tidak, kita mungkin tidak rela membantu orang lain untuk sukses, berhasil, mendapatkan nama baik. Kita malah lebih suka menjadi pribadi yang menonjol (bahkan ketika kita sudah tidak berada ditempat tersebut). Maka, bisa dipahami jika sebagian diantara kita memilih menyiapkan keburukan bagi pengganti kita dari pada menyiapkan fondasi yang kuat untuk memudahkan jalan bagi orang lain.
Terkait apa yang saya maksudkan diatas, saya mencoba mengkaji dengan apa yang lagi ramai-ramainya diberitakan oleh media akhir-akhir ini, yakni seleksi menteri yang akan menduduki Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Saya tertarik untuk mengkaji sosok Adhyaksa Dault yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) masa jabatan tahun 2004-2009. untuk kabinet jilid II, kemungkinan lagi Adhyaksa tidak akan menduduki posisi jabatan tersebut, karena nama Andi Malaranggeng yang sebelumnya menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan memiliki kans yang besar untuk diplot sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga.
Adhyaksa Dault yang saya akui adalah sosok yang berpengalaman dalam hal mengurusi urusan pemuda dan olahraga (meskipun minim prestasi yang dicapainya selama menjabat sebagai Menpora), tak berharap untuk kembali mendapatkan kembali posisi sebagai Menpora. Dia justru bekerja keras untuk menyiapkan segala sesuatunya untuk memudahkan orang yang menggantikannya kelak. Bahkan, pada salah satu media nasional pernah merilis pernyataannya bahwa dia tidak merasa terancam dengan kemungkinan kesuksesan yang akan diraih oleh penggantinya kelak berdasarkan kerangka kerja yang dibangunnya kini.
Pernyataan yang tentulah mengundang simpati besar dari pers dan publik. Seorang incumbent secara sadar dan sengaja memilih memberikan peluang kepada penggantinya (plus segunung harapan agar dia bisa meneruskan pekerjaannya dengan lebih hebat dimasa-masa mendatang. Sebuah kejadian yang tidak biasa dan bahkan terbilang langka pada sistem demokrasi di negeri kita.
Tugas Adhyaksa Dault kini telah usai. Saatnya kini dia memberi jalan kepada Andi Malarangeng untuk melanjutkan tugasnya. Dengan filosofi, ingin memberi tim terbaik kepada penggantinya. Adhyaksa tentunya merasa gagal juga, jika Andi Malarangeng tak sanggup membangun tim yang berhasil meraih prestasi kelak.
Kembali ke pertanyaan pertama yang saya ajukan tadi. “Coba dibayangkan, ketika kamu memiliki sebuah mobil. Mobil kesayanganmu tersebut hendak dijual. Apakah kamu tega menjualnya dalam keadaan rusak dan membiarkan pemilik barunya memaki-maki mobil kesayanganmu tersebut karena terlalu sering mogok? Ataukah kamu lebih senang menjual mobil tersebut dalam kondisi prima sehingga pemilik barunya makin rajin merawat mobil kesayanganmu tersebut?”
Tapi semua kembali ke diri kita masing-masing, untuk memilih yang mana. Lagian juga, pertanyaan saya yang saya lontarkan pada awal catatan ini bukan hendak dijawab apakah benar atau salah, dijawab ya atau tidak. Akan tetapi, jawaban tergantung dari diri kita masing-masing, mana yang sesuai dengan karakter kita sendiri. ”Senang dipuji karena kegagalan orang lain, atau ikut tersenyum melihat keberhasilan orang lain karena tahu kamu punya andil di dalamnya (meski tak selalu diketahui orang lain).
Catatan ini mungkin bisa saya samakan pula dengan apa yang dialami oleh dua teman saya, yakni Elnino M Husein Mohi yang saat ini menjabat sebagai anggota DPD RI serta Nurul Syamsu Panna, Koresponden SCTV Gorontalo yang pernah dipercayakan menjadi pengelola (petugas) stasiun televisi milik Universitas Negeri Gorontalo yakni Civica TV yang kemudian pada akhirnya oleh pihak lembaga (kampus) diganti dengan petugas lainnya yakni Agus Lahinta. Meskipun sudah tidak masuk lagi dalam struktur pengelola media tersebut, namun kedua sosok teman saya tersebut masih memiliki rasa untuk menyukseskan media tersebut, meskipun toh pada akhirnya, jika media tersebut sukses dan besar, yang diketahui oleh orang banyak bahwa kesuksesan media tersebut berkat kerja keras mereka yang saat ini mengelola media tersebut. Orang tidak akan mau tahu dengan Elnino Mohi dan Syamsu Panna. Sebaliknya begitu. Ketika media tersebut hancur luluh berantakan (gagal), tanpa harus mempersalahkan orang, pasti penilaian orang langsung tertuju kepada kedua orang tersebut.
Inilah keteladanan yang pantas kita contoh. Memberi teladan yang terbaik, meski ada resiko hasil karyanya diakui sebagai pencapaian orang lain.
Wallahu ’Alam....
0 komentar:
Posting Komentar